Sejarah Goa Langse – Goa Langse merupakan salah satu tempat ritual favorit di Daerah Istimewa Yogyakarta selain Makam Raja-Raja di Imogiri, Goa Cerme dan sederet tempat lainnya yang memiliki aura mistis. Goa Langse menjadi pilihan bagi mereka yang ingin melakukan berbagai macam ritual karena goa ini masih berkaitan erat dengan Legenda Nyai Roro Kidul sang penguasa Laut Selatan.
Sejarah Goa Langse
Goa Langse berada di tebing perbukitan Kapur yang terletak sekitar 5 kilometer dari Kawasan Pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul. Untuk menjangkaunya memang membutuhkan energi yang cukup ekstra karena medan yang harus ditempuh cukup sulit serta cukup terjal.
Goa Langse ramai dikunjungi oleh warga terutama luar daerah di momen-momen tertentu. Tak sedikit kandidat calon kepala daerah, calon lurah, calon anggota legislatif (Caleg) yang datang ke tempat tersebut untuk melakukan ritual agar hajat mereka terpenuhi.
Pintu masuk Goa Langse menghadap ke selatan alias menghadap ke laut selatan. Angin yang cukup kencang diiringi deburan ombak yang cukup keras menambah suasana mistis kawasan Goa Langse tersebut. Ritual pun dilaksanakan di malam hari terutama malam Jumat Kliwon (Kamis Malam) ataupun malam Selasa Kliwon (Senin Malam).
Juru kunci Goa Langse, Sugiyanto mengatakan, Goa Langse berada di Dusun Gabug, Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari Gunungkidul. Untuk menggapai ke mulut Goa harus ditemani oleh warga sekitar karena medan yang ditempuh cukup sulit. Turunan yang cukup curam dan juga bukit terjal memang mensyaratkan pengunjung menggunakan jasa pemandu warga setempat.
Beberapa waktu yang lalu, ada seorang Caleg dari luar Jawa yang nekat turun sendiri ke Goa Langse. Bukannya mendapat berkah ritualnya dikabulkan, namun justru caleg tersebut tewas terjungkal dari atas tebing dan terjun bebas ke laut.
Untuk menuju ke mulut Goa, pengunjung harus melewati jalan setapak dengan lebar paling besar 1 meter, tangga dari kayu, anak tangga dari batu kapur hingga akar-akar pepohonan yang banyak menjulur di kaki-kaki bukit. Tenaga ekstra dibutuhkan untuk turun dan naik tangga tersebut.
Sebenarnya perjalanan menuju ke Goa Langse cukup mengasyikkan ketika dinikmati. Setelah berjalan kaki sekitar 150 meter dari tempat parkir kendaraan melewati tanah lapang dan hutan jati, pengunjung akan sampai ke batu Plawangan. Batu plawangan merupakan sebutan untuk batas tebing dengan laut.
Dari batu Plawangan tersebut, pengunjung bisa menikmati hamparan nan luas laut selatan yang berwarna biru. Di sebelah barat akan terpapar indah pantai Parangtritis yang terkenal karena menjadi Ikon wisata di DIY. Di bawah tebing-tebing yang curam, terpapar aneka bunga dan juga sesajen dupa serta kemenyan. Hal tersebut menandakan di kawasan tersebut juga sering digunakan untuk ritual.
Ukuran goa sendiri tidak terlalu besar karena hanya seluas dua kali lapangan bola voli. Di dalamnya ada sumber mata air yang biasanya digunakan untuk cuci muka ataupun mandi sebelum melakukan ritual.
Sugiyanto mengungkapkan alasan orang-orang berkunjung ke Goa tersebut. Sebab selama ini beredar kabar jika Goa tersebut merupakan salah satu istana Nyi Roro Kidul, penguasa pantai Selatan Jawa. Konon Goa ini juga sering digunakan semedi Syech Maulana Maghribi ataupun Syech Siti Jenar hingga Panembahan Senopati.
Goa ini diyakini juga menjadi salah satu tempat pertemuan antara dua penguasa, Penguasa Keraton Mataram dengan Penguasa Laut Selatan. Di tempat ini para pengunjung biasanya memanjatkan doa dengan membawa ‘ubo rampe’ kembang serta wewangian dupa.
Ketenaran Goa Langse bermula dari cerita dari bidadari yang turun dari Kahyangan, Dewi Nawangwulan untuk mandi di Sendang Beji yang terletak di Kawasan Girijati. Dewi Nawangwulan turun dari Kahyangan bersama dengan kakak-kakaknya yang juga bidadari.
Ketika para bidadari tengah asyik mandi, tanpa sepengetahuan para bidadari ada seorang pemuda yang bernama Kidang Telangkas atau yang terkenal dengan sebutan Jaka Tarup memperhatikan mereka. Timbul niat jahat Jaka Tarup untuk menyembunyikan seperangkat pakaian yang dikenakan oleh Dewi Nawangwulan.
Usai mandi di Sendang tersebut para bidadar berniat kembali ke Kahyangan. Namun Dewi Nawangwulan tak bisa naik ke Kahyangan karena pakaiannya telah disembunyikan. Karena ketahuan oleh manusia dan pakaiannya dicuri, Dewi Nawangwulan pun dikutuk tinggal di bumi dan menjadi Ratu Penguasa Laut Selatan.
Sumber: kumparan.com