Museum Ullen Sentalu – Ulating Blencong Sejatine Tararaning Lumaku

Museum Ullen Sentalu

Museum Ullen Sentalu Yogyakarta

Contents

Museum Ullen Sentalu terletak di daerah Pakem, Kaliurang (bagian utara kota Yogyakarta) adalah museum yang menampilkan budaya dan kehidupan putri / wanita Keraton Yogyakarta beserta koleksi bermacam-macambatik (baik gaya Yogyakarta maupun Solo).

Nama Ullen Sentalu merupakan singkatan dari bahasa Jawa: “Ulating Blencong Sejatine Tararaning Lumaku” yang artinya adalah “Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”.

Filsafah ini diambil dari sebuah lampu minyak yang dipergunakan dalam pertunjukkan wayang kulit (blencong) yang merupakan cahaya yang selalu bergerak untuk mengarahkan dan menerangi perjalanan hidup kita.

Museum bergaya arsitektur gothic ini menampilkan kebudayaan masyarakat Jawa di masalalu melalui berbagai dokumentasinya, seperti batik dengan berbagai corak, pakaian, lukisan-lukisan dan foto-foto tentang budaya dan tokoh Jawa. Ruang-ruang ekshibisi di museum ini juga menjadi sebuah perekam berbagai kejadian atau peristiwa di masa lalu.

Berbagai peristiwa yang dimaksud lebih mengarah kepada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para bangsawan dari empat keraton di Solo dan Yogyakarta, yakni Kasunanan Surakarta, Istana Mangkunegaran Surakarta, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Puro Pakualaman Yogyakarta.

Arsitektur bangunan museum ini sangat spesial lantaran mengambil model rancang-bangun istana di Eropa abad pertengahan yang lekat dengan gaya gothic, yakni kastilyang disusun sedemikian rupa dengan tumpukan batu-batu gunung berwarna gelapdan dihiasi dengan berbagai tumbuhan merambat.

Penampilan tersebut menjadikan museum ini sangat khas dan berbeda dengan museum-museum lain di Yogyakarta,bahkan di Indonesia.

Selain model rancang-bangunnya, display di museum ini juga menakjubkan lantaran dikerjakan oleh kurator museum yang profesional.

Hal ini dapat disaksikan pada penataan koleksi-koleksi benda dalam ruang-ruang, etalase-etalase, rak-rak, dan meja maupun foto-foto dan lukisan-lukisan yang menempel pada dinding museum.

Penataan ini dipercantik dengan sistem pencahayaan [spot light] yang baik. Sehingga, penampilan koleksi pada tiap ruangan menjadi istimewa dan menghadirkan kesan tertentu.

Hal ini disokong pula oleh tema dan narasi yang dikembangkan oleh pemandu museum di mana kemudian kunjungan wisatadi museum ini terasa lebih interaktif.

Ullen Sentalu

Menapakkan kaki di kawasan Museum Ullen Sentalu terasa balutan hawa sejuk (15-25° Celcius) dan suasana hening yang menyatu dengan alam pegunungan disekitranya yang sekaligus memberikan rasa damai serta khidmat.

Area seluas 1,2 hektar yang dikembangkan secara bertahap tersebut bernama nDalem Kaswargan atau Rumah Surga, dimana Museum Ullen Sentalu berada.

Jalan masuk menuju ruang pamer museum maupun artshop dan restoran  berupa kelokan, undakan, serta labirin akan memberikan nuansa nostalgia, perenungan dan keindahan.

Beberapa bagian bangunan dan unsur yang melengkapinya, seperti gapura, dinding tembok, taman, kolam, mencerminkan keagungan budaya leluhur yang sudah ada sejak masa silam.

Berbagai jenis unsur bangunan Jawa terlihat pada layout dan struktur bangunan bergaya Indis dan post-mo yang bersatu-padu menciptakan harmoni secara menakjubkan. Koleksi berupa lukisan dan foto foto tokoh sejarah budaya Mataram Islam, kain batik vorstenlanden, karya sastra,  arca arca kebudayaan Hindu Buddha, dan koleksi etnografi era Mataram Islam.

Itu membingkai kisah sosial ekonomi politik seni sejarah dan budaya Jawa, terutama kisah para putri di kraton Mataram yang tidak banyak dikisahkan kepada masyarakat awam.

Seribu enam ratus atau bahkan lebih dari dua ribu tahun. Selama itulah rentang waktu yang telah membentuk budaya Jawa yang eksis dan kita kenal hingga sekarang.

Evolusinya melalui berbagai zaman: Mataram Kuno, Medang, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, juga Mataram beserta empat cabang sempalannya, yakni Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.

Hasil proses peradaban berusia panjang itu pun tak kurang jumlahnya yang bermutu sangat tinggi. Sebut saja dalam hal ini kitab kitab kuno yang berisikan mitologi, epos, sejarah, ketatanegaraan, pengetahuan dan petuah-petuah berfaedah, hingga ramalan : Bharatayudha, Negarakertagama, Pararaton, Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, Serat Wedhatama,dan Serat Kalathida.

Di samping itu ada pula sejumlah adikarya berupa bangunan bangunan berarsitektur megah serta kaya ornamen elok: Candi Borobudur, Percandian Prambanan, Candi Sewu, Candi Penataran, Pasareyan Raja-raja Mataram di Imogiri, juga Istana Air Taman Sari.

Patut disyukuri bahwa banyak dari warisan budaya yang bersifat tangible (bendawi) tersebut sejauh ini terkonservasi dengan cukup baik.

Namun, selain warisan budaya yang bersifat tangible ada pula warisan budaya yang bersifat intangible. Warisan budaya intangible mencakup keseluruhan ekspresi, pengetahuan, representasi, praktek, dan ketrampilan.

Datangnya era globalisasi yang tak terelakkan serta banjir budaya pop yang dibawanya mendatangkan ancaman bagi warisan budaya Jawa yang bersifat intangible.

Menjadi pudar dan terabaikan adalah awalnya. Selanjutnya, jika tiada perhatian serta tindakan nyata, bukan tak mungkin itu akan memusnahkan warisan budaya intangible, membuatnya terlupakan sama sekali.

Keprihatinan atas hal semacam itu, berpadu dengan pemikiran bahwa kebanggaan dan martabat suatu bangsa, termasuk kebanggaan atas segenap hasil proses peradaban dan budayanya, tidaklah dapat dipisahkan dengan adanya kehendak kuat untuk menjaga kesinambungannya, lantas memantik inspirasi para pendiri Museum Ullen Sentalu.

Mereka lantas bertekad untuk mampu menjelmakan warisan budaya intangible dalam wujud karya karya seni. Harapannya, itu akan mampu menjadi jendela peradaban seni dan budaya Jawa, sekaligus jembatan komunikasi bagi generasi masa kini.

museum ullen sentalu yogyakarta

Vorstenlanden merupakan istilah yang sering muncul dalam artikel atau buku yang membahas tentang sejarah Jawa, kususnya sejarah Jawa pada kurun medio abad XVIII sampai dengan pertengahan awal abad XX.

Pada kurun tersebut, istilah Vorstenlanden sering digunakan untuk menyebut daerah atau kawasan yang berada di bawah otoritas empat monarki Jawa pecahan Dinasti Mataram Islam, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Beberapa kawasan yang tersebar diberbagai daerah yang termasuk dalam Vorstenlanden itu terletak di daerah pedalaman Jawa dan bukan di di daerah pesisir atau tepian pulau Jawa.

Awalnya, Vorstenlanden membentang di sepanjang sisi selatan mulai dari sekitar Gunung Slamet di Jawa Tengah sampai dengan sekitar Gunung Kelud di Jawa Timur. Kondisi demikian  berlangsung  75 tahun, yakni antara 1755 sampai dengan 1830.

Sejak 1830, sebagai dampak kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda pasca Perang Jawa/ Perang Diponegoro (1825-1830), luas wilayah yang termasuk Vorstenlanden menciut secara drastis.

Sejak tahun tersebut, Vorstenlanden tinggal meliputi beberapa daerah yang kini dikenal sebagai eks Karesidenan Surakarta dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Beberapa wilayah selebihnya, yang semula lazim dikenal sebagai daerah Mancanagara, yakni Banyumas, Bagelen, Kedu, Madiun, Kediri, Caruban, Jipang/Bojonegoro, Japan/Mojokerto, Nganjuk, dan Ponorogo diambil alih penguasaannya secara langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Ketika Hindia Belanda akhirnya runtuh pada 1942, penguasaan langsung atas daerah-daerah bekas Mancanagara Surakarta dan Yogyakarta diteruskan oleh otoritas pengganti Pemerintah Hindia Belanda, yakni oleh Pemerintah Pendudukan Jepang dan selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia saat ini.

Bahkan, sejak 1946, tinggal Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman saja daerah Vorstenlanden yang terbilang masih memiliki otonomi untuk menjalankan pemerintahannya sendiri.

Itu pun keduanya bertranformasi dalam bentuk Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan satu dari 34 provinsi dalam Republik Indonesia.

Sultan Kraton Yogya dan Adipati Puro Pakualam menikmati sisa-sisa hak istimewanya sebagai penguasa Jawa dengan mengemban jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Untuk Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, keduanya  sejak 1946  dapat dikatakan benar-benar kehilangan otonomi bidang pemerintahan atas daerah-daerah yang antara 1830-1946 di bawah kekuasaan mereka.

Sejak sekitar setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dua pecahan Dinasti Mataram Islam tersebut mesti merelakan seluruh wilayahnya diambil alih Pemerintah Republik Indonesia.

Bekas wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran kemudian dijadikan bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Kini, gabungan wilayah dari dua pecahan Dinasti Mataram Islam itulah yang lazim dikenal sebagai wilayah Eks Karesidenan Surakarta.

Berawal dari Bovenlanden. Tentang kapan tepatnya otoritas Kolonial Belanda di Jawa mengadopsi istilah Vorstenlanden, penjelasan dari Dosen sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Dr Sri Margana, dapat memberikan gambaran.

“Awalnya ketika Mataram belum terpecah, hanya ada satu raja, istilahnya yang dipakai dulu (oleh Belanda) adalah Bovenlanden,” kata Dr Sri Margana ketika diwawancara oleh Tim Riset dan Dokumentasi Museum Ullen Sentalu pada 20 Juni 2014, “Ketika kemudian terpecah menjadi empat, mereka (Belanda) lalu menyebutnya Vorstenlanden .“

Lebih lanjut dijelaskan oleh Dr Sri Margana, vorsten pada Vorstelanden dalam bahasa Belanda berarti raja-raja atau penguasa-penguasa. Dengan demikian Vorstenlanden berarti tanah raja-raja.

Katanya lagi, penggunaan istilah Vorstenlanden cocok dengan aturan hukum kolonial yang diberlakukan Belanda pada masa itu, yakni raja-raja penguasa lokal keturunan Dinas Mataram Islam di daerah Vorstenlanden memang menyandang status semi-otonom, boleh mengontrol wilayah mereka.

Lebih lanjut diterangkan oleh Doktor Sejarah lulusan Universitas Leiden itu, penggunaan istilah Vorstenlanden sebenarnya telah sering dipakai dalam aktivitas surat menyurat antar pejabat Belanda sejak setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti 1755.

Kebiasaan ini kemudian menjadi formal setelah pembentukan negara kolonial pada 1800, antara lain ditandai dengan penggunaan istilah Vostenlanden dalam berbagai dokumen dan peraturan resmi seperti Staatblad  yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial, juga dalam Rijkblaad yang dikeluarkan raja-raja penguasa lokal keturunan Dinasti Mataram Islam.

Penggunaan istilah Vorstenlanden sekaligus untuk membedakan dengan tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh pihak otoritas Belanda, yang disebut Gouvernementlanden.

Tembakau dan Batik

Sekitar tiga perempat abad terakhir, istilah Vorstenlanden tak banyak lagi terdengar dalam keseharian. Boleh jadi, menghilangnya istilah Vorstenlanden telah terjadi ketika Jepang menggusur Belanda dari Nusantara pada 1942.

Jadi, istilah Vorstenlanden bernasib  sama dengan sejumlah penyebutan daerah dalam bahasa Belanda yang setelah Jepang berkuasa di Indonesia pada 1942-1945, berlanjut dengan merdekanya Indonesia sejak 1945, kemudian diganti dengan istilah dalam bahasa Indonesia.

Sebagaimana Batavia yang diganti Jakarta, Buitenzorg diganti Bogor, dan Fort de Cock diganti Bukittinggi.

Meskipun demikian, istilah Vorstenlanden tidak pula lenyap seluruhnya. Istilah tersebut sampai kini masih melekat pada jenis tembakau berkualitas tinggi yang dibudi-dayakan di sekitar Kabupaten Klaten.

Istilah Vorstenlanden juga dipakai untuk menyebut kain-kain batik gaya Surakarta dan Yogyakarta yang cenderung memiliki warna dasar soga hingga putih, serta terkesan memiliki motif-motif klasik.

Penggunaan istilah demikian untuk beragam batik asal Surakarta dan Yogyakarta adalah sebagai pembeda dengan bermacam batik asal Pesisir Utara yang umumnya lebih berwarna-warni.

Dalam hal penggunaan istilah Vorstenlanden pada budi daya tembakau dan produksi batik, secara umum memiliki konotasi positif, tak selalu diingat dan dikaitkan dengan eksistensi kolonial.

Hal demikian tampaknya adalah cerminan citra klasik dan pesona peradaban Barat/Eropa  yang memang masih melekat pada penggunaan istilah Vorstenlanden.

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments